Abdurrauf Law and Sharia
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash
<p align="justify"><strong>Abdurrauf Law and Sharia</strong> (ISSN-P <a style="text-decoration: none;" href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20240722461415833" target="_blank" rel="noopener">3063-4598</a> ; ISSN-E <a style="text-decoration: none;" href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/20240917231420546" target="_blank" rel="noopener">3063-8429</a>) is an international and double-blind peer reviewed journal which welcomes high quality, theoretically informed articles on a wide range of areas related to law and sharia research analysis. Abdurrauf Law and Sharia has been published by Yayasan Abdurrauf Cendekia Nusantara, Aceh, Indonesia. The journal publishes research articles, conceptual articles, reports field studies, legal theory, legal philosophy, constitutional law, legal debate, socio-legal, and other recent issues relating to case law (See Aims and Scope). The articles of this journal have been published every six months (2 issues per year).</p>Yayasan Abdurrauf Cendekia Nusantaraen-USAbdurrauf Law and Sharia3063-8429Minimum Wages and Welfare of Private Lecturers in Indonesia: Perspectives of Islamic Law and Positive Law
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash/article/view/191
<p>This study examines the welfare issues of private university lecturers in Indonesia who receive substandard wages, by analyzing them through the perspectives of Islamic law and positive law. The objective of this paper is to explore the alignment between the principles of wage justice in Islamic law and the wage regulations within the national legal framework, especially concerning employment in the private higher education sector. The methodology employed is normative juridical with a qualitative analysis of legal documents and Islamic legal literature. The findings indicate that private lecturers are employed under contractual agreements subject to labor regulations, which often fail to provide adequate welfare guarantees. On the other hand, Islamic law emphasizes justice, fairness, and certainty in wage distribution as part of workers' rights protection. The main novelty of this study lies in identifying the gap between the normative ideals of Islamic law and the practical enforcement of positive law in the higher education context. The impact of this research is to propose an integrative legal approach that incorporates Islamic ethical values into wage regulation policies, aiming to improve the socio-economic well-being of academic professionals in Indonesia.</p> <p><strong><em>Abstrak:</em></strong> <em>Penelitian ini mengkaji permasalahan kesejahteraan dosen perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia yang menerima upah di bawah standar, dengan meninjau dari perspektif hukum Islam dan hukum positif. Tujuan dari studi ini adalah untuk menggali kesesuaian prinsip-prinsip keadilan upah dalam hukum Islam dengan pengaturan pengupahan dalam sistem hukum nasional, khususnya terhadap tenaga kerja di sektor pendidikan tinggi swasta. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dengan analisis kualitatif terhadap dokumen hukum dan literatur keislaman. Hasil kajian menunjukkan bahwa dosen PTS memiliki status hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja yang tunduk pada aturan ketenagakerjaan, yang dalam praktiknya belum memberikan jaminan kesejahteraan yang memadai. Sementara itu, hukum Islam menekankan keadilan, kelayakan, dan kepastian dalam pemberian upah sebagai bagian dari perlindungan hak pekerja. Temuan utama dari penelitian ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme hukum Islam dan implementasi hukum positif di sektor pendidikan tinggi. Studi ini memberikan kontribusi dengan menawarkan pendekatan integratif antara hukum Islam dan hukum ketenagakerjaan untuk mendorong formulasi kebijakan pengupahan yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan akademisi di Indonesia.</em></p> <p><strong><em>Kata kunci:</em></strong> <em>hukum Islam; hukum ketenagakerjaan; kesejahteraan dosen; perguruan tinggi swasta; upah minimum</em></p> <p><strong> </strong></p>Hisam AhyaniMuharir MuharirKhairuddin KhairuddinEncep Taufik RahmanDwi Edi WibowoUlummudin UlummudinAgus Yosep AbdulohIrfan KuncoroSérgio António Neves Lousada
Copyright (c) 2025 Hisam Ahyani, Muharir Muharir, Khairuddin Khairuddin, Encep Taufik Rahman, Dwi Edi Wibowo, Ulummudin Ulummudin, Agus Yosep Abduloh, Irfan Kuncoro, Sérgio António Neves Lousada
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-05-012025-05-012112110.70742/arlash.v2i1.191Penyebaran Konten Deepfake Sebagai Tindak Pidana: Analisis Kritis Terhadap Penegakan Hukum Dan Perlindungan Publik Di Indonesia
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash/article/view/194
<p>Environmental issues have become a global concern that requires serious attention from all levels of society due to their wide-ranging impact on human survival and ecosystems on Earth. As human activities rapidly expand in industries, agriculture, fisheries, real estate, and other sectors, negative impacts often arise, leading to disputes or conflicts, particularly related to environmental damage. These environmental disputes are often difficult to resolve through formal litigation channels, which can be time-consuming, costly, and frequently result in polarization between the conflicting parties. Therefore, alternative dispute resolution (ADR), including methods such as Negotiation, Conciliation, Mediation, and Arbitration, has become a relevant and effective solution for resolving these conflicts. This study uses a Normative Juridical research method aimed at analyzing how environmental disputes can be resolved through alternative, out-of-court channels. Relying on library research and secondary materials, the author identifies various cases that demonstrate the successes and challenges of resolving environmental disputes through ADR methods. The findings indicate that resolving disputes through non-litigation channels, particularly through mediation and conciliation, has proven to be more efficient, reduces costs, and allows for more sustainable agreements between the disputing parties. Additionally, this research emphasizes the importance of government consistency in implementing sustainable development programs that not only focus on economic aspects but also maintain social and ecological balance. The government is expected to prevent environmental disputes by designing policies that prioritize the preservation and protection of ecosystems, while also considering the rights of communities affected by development projects. In this context, sustainable development must prioritize the harmony between humans and nature, ensuring that the development process can proceed without damaging the environment, thereby minimizing environmental disputes.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Penyebaran konten deepfake sebagai tindak pidana di Indonesia menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Deepfake memungkinkan manipulasi video dan audio secara sangat realistis, yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan negatif, seperti pencemaran nama baik, penyebaran informasi palsu, pemerasan, hingga pengaruh terhadap opini publik. Beberapa kasus yang telah terjadi menunjukkan bagaimana deepfake dapat merugikan individu, institusi, hingga stabilitas sosial. Konten manipulatif ini tidak hanya mengancam privasi seseorang tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap informasi digital, media, dan sistem hukum. Keberadaan deepfake juga memperumit identifikasi kejahatan siber dan menyulitkan aparat hukum dalam membuktikan pelanggaran yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyebaran konten deepfake sebagai bentuk tindak pidana dalam perspektif hukum Indonesia, meninjau tantangan dalam penegakan hukum, serta mengevaluasi dampaknya terhadap keamanan publik dan ketertiban sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur terhadap regulasi hukum yang berlaku, analisis berbagai kasus yang telah terjadi, serta wawancara dengan pakar hukum dan teknologi informasi. Pembahasan dalam penelitian ini mencakup identifikasi regulasi yang relevan dengan deepfake, hambatan dalam proses penegakan hukum, serta implikasi sosial dari penyebaran deepfake di masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belum adanya regulasi yang spesifik mengenai deepfake di Indonesia menjadi kendala utama dalam proses hukum, sementara teknologi forensik digital yang terbatas semakin menyulitkan upaya pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan pembentukan regulasi yang lebih komprehensif, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, serta edukasi kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran akan bahaya deepfake. Temuan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan langkah-langkah strategis untuk menghadapi ancaman deepfake secara lebih efektif di masa depan.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> Deepfake; Konten; Penyebaran; Pidana</p>Hendra PrayogaHadi Tuasikal
Copyright (c) 2025 Hendra Prayoga, Hadi Tuasikal
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-05-012025-05-0121223810.70742/arlash.v2i1.194Analisis Kualitatif Terhadap Pandangan Kumaila Tentang Konsumsi Daging Babi dalam Diskursus Islam Perspektif Ulama Tradisional
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash/article/view/193
<p>This research discusses issues related to the controversy over the law of consuming pork in Islam, triggered by Kumaila's views in a YouTube video, which has caused debate among the public and necessitates an in-depth analysis to understand Kumaila's arguments. The purpose of this research is to criticize scientific arguments related to the law of consuming pork in Islam and analyze Kumaila's views on pork through the video "The Influence of Environment on Cultural Formation". The research uses a descriptive qualitative approach with the content analysis method, where analysis steps are carried out objectively and systematically to identify specific characteristics of Kumaila's views. The results show that Kumaila argues the reason for the prohibition of pork is not solely due to health issues, but rather because of the geographical conditions in the Middle East that are dry and water-scarce. Kumaila also criticizes the views of scholars who forbid pork for health reasons and argues that the law of consuming pork needs to be considered in the historical, cultural, and religious context of the modern era. The implications of this research are to provide a more comprehensive understanding of Kumaila's arguments regarding the law of consuming pork and open a discussion on the reinterpretation of religious law in the modern context, serving as a reference for the public and scholars to understand this controversial issue from various perspectives.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Penelitian ini membahas permasalahan terkait kontroversi hukum mengonsumsi daging babi dalam Islam, yang dipicu oleh pandangan Kumaila dalam video YouTube. Pandangan ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, sehingga perlu dilakukan analisis mendalam untuk memahami argumentasi Kumaila. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkritisi argumen ilmiah terkait hukum mengonsumsi daging babi dalam Islam dan menganalisis pandangan Kumaila tentang babi melalui video "Pengaruh Lingkungan Terhadap Pembentukan Budaya". Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode analisis konten. Langkah-langkah analisis dilakukan secara objektif dan sistematik untuk mengidentifikasi karakteristik khusus dari pandangan Kumaila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kumaila berpendapat bahwa alasan diharamkannya daging babi bukan semata-mata karena masalah kesehatan, melainkan karena kondisi geografis di Timur Tengah yang kering dan langka air. Kumaila juga mengkritisi pandangan ulama yang mengharamkan daging babi karena alasan kesehatan dan berargumentasi bahwa hukum mengonsumsi daging babi perlu dipertimbangkan dalam konteks historis, budaya, dan agama di era modern. Implikasi penelitian ini adalah memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang argumentasi Kumaila terkait hukum mengonsumsi daging babi dan membuka diskusi tentang reinterpretasi hukum agama dalam konteks modern. Penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi masyarakat dan ulama untuk memahami isu kontroversial ini dari berbagai perspektif.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> daging babi; argumen ilmiah; hukum Islam.</p>Ahmad MahfudNurul HamidahSurya Saputra MahmudMoh. Yardho
Copyright (c) 2025 Ahmad Mahfud, Nurul Hamidah, Surya Saputra Mahmud, Moh. Yardho
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-05-012025-05-0121395810.70742/arlash.v2i1.193Penyelesaian Sengketa Lingkungan Dengan Pendekatan Alternative Dispute Resolution Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash/article/view/195
<p><em>Environmental issues have become a global concern that requires serious attention from all levels of society due to their wide-ranging impact on human survival and ecosystems on Earth. As human activities rapidly expand in industries, agriculture, fisheries, real estate, and other sectors, negative impacts often arise, leading to disputes or conflicts, particularly related to environmental damage. These environmental disputes are often difficult to resolve through formal litigation channels, which can be time-consuming, costly, and frequently result in polarization between the conflicting parties. Therefore, alternative dispute resolution (ADR), including methods such as Negotiation, Conciliation, Mediation, and Arbitration, has become a relevant and effective solution for resolving these conflicts. This study uses a Normative Juridical research method aimed at analyzing how environmental disputes can be resolved through alternative, out-of-court channels. Relying on library research and secondary materials, the author identifies various cases that demonstrate the successes and challenges of resolving environmental disputes through ADR methods. The findings indicate that resolving disputes through non-litigation channels, particularly through mediation and conciliation, has proven to be more efficient, reduces costs, and allows for more sustainable agreements between the disputing parties. Additionally, this research emphasizes the importance of government consistency in implementing sustainable development programs that not only focus on economic aspects but also maintain social and ecological balance. The government is expected to prevent environmental disputes by designing policies that prioritize the preservation and protection of ecosystems, while also considering the rights of communities affected by development projects. In this context, sustainable development must prioritize the harmony between humans and nature, ensuring that the development process can proceed without damaging the environment, thereby minimizing environmental disputes.</em></p> <p><strong>Abstrak:</strong> Permasalahan lingkungan hidup telah menjadi isu global yang memerlukan perhatian serius dari seluruh lapisan masyarakat, karena dampaknya yang luas terhadap kelangsungan hidup manusia dan ekosistem di bumi. Seiring dengan pesatnya perkembangan kegiatan manusia dalam bidang industri, pertanian, perikanan, properti, dan lainnya, seringkali muncul dampak negatif yang menimbulkan sengketa atau konflik, terutama terkait dengan kerusakan lingkungan. Sengketa lingkungan ini seringkali sulit untuk diselesaikan melalui jalur litigasi formal, yang memakan waktu, biaya, dan seringkali mengarah pada polarisasi antara pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, alternatif penyelesaian sengketa seperti ADR (Alternative Dispute Resolution) atau Penyelesaian Sengketa Alternatif (APS), yang mencakup metode Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase, menjadi solusi yang relevan dan efektif dalam menyelesaikan konflik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yang bertujuan untuk menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui jalur alternatif di luar pengadilan dapat diterapkan. Dengan mengandalkan penelitian pustaka dan bahan sekunder, penulis mengidentifikasi berbagai kasus yang menunjukkan keberhasilan dan tantangan dalam penyelesaian sengketa lingkungan melalui metode ADR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi, terutama melalui mediasi dan konsiliasi, terbukti lebih efisien, mengurangi biaya, dan memungkinkan tercapainya kesepakatan yang lebih berkelanjutan antara pihak-pihak yang bersengketa. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya konsistensi Pemerintah dalam menjalankan program pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan ekologi. Pemerintah diharapkan dapat mencegah terjadinya sengketa lingkungan dengan merancang kebijakan yang mengutamakan pelestarian dan perlindungan ekosistem, serta memperhatikan hak-hak masyarakat yang terdampak oleh proyek pembangunan. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan harus mengedepankan prinsip keharmonisan antara manusia dan alam, sehingga proses pembangunan dapat berlangsung tanpa merusak lingkungan, dan sengketa lingkungan dapat diminimalisir.</p> <p><strong>Kata kunci: </strong>Alternatif Penyelesaian Sengketa; Lingkungan Hidup; Luar Pengadilan.</p>Nonce Kristin GamanHadi Tuasikal
Copyright (c) 2025 Nonce Kristin Gaman, Hadi Tuasikal
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-05-012025-05-0121598710.70742/arlash.v2i1.195Ketidaksetaraan Gender, Wahabisme Dan Visi Saudi 2030: Kritik Feminisme Postkolonial Melawan Ketidakadilan Di Arab Saudi
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash/article/view/199
<p><em>This research analyzes gender inequality in Saudi Arabia within the contexts of Wahhabism and Saudi Vision 2030 using Chandra Talpade Mohanty's postcolonial feminist perspective. Through qualitative methodology with a descriptive-analytical approach, this study examines how Wahhabi doctrine has shaped practices that restrict women's roles through the guardianship system, driving ban, and gender segregation. Saudi Vision 2030 has brought significant reforms such as lifting the driving ban, relaxing the guardianship system, and increasing women's workforce participation from 17% (2016) to 33% (2020). However, critical analysis reveals that these reforms function more as instruments of economic modernization and international image improvement rather than fundamental transformations in gender relations. Based on Mohanty's theory, this research identifies three key findings: (1) the importance of understanding gender inequality within specific socio-historical contexts, (2) recognition of Saudi women as active agents negotiating their rights through various forms of resistance, and (3) understanding the intersection between gender policies, global economics, and geopolitics. This research contributes to a more nuanced understanding of the complexities of gender equality struggles in non-Western contexts.</em></p> <p><strong>Abstrak:</strong> Penelitian ini menganalisis ketidaksetaraan gender di Arab Saudi dalam konteks Wahabisme dan Visi Saudi 2030 menggunakan perspektif feminisme postkolonial Chandra Talpade Mohanty. Melalui metodologi kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitis, studi ini mengkaji bagaimana doktrin Wahabi telah membentuk praktik-praktik yang membatasi peran perempuan melalui sistem perwalian, larangan mengemudi, dan segregasi gender. Visi Saudi 2030 telah membawa reformasi signifikan seperti pencabutan larangan mengemudi, pelonggaran sistem perwalian, dan peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dari 17% (2016) menjadi 33% (2020). Namun, analisis kritis menunjukkan bahwa reformasi ini lebih merupakan instrumen modernisasi ekonomi dan perbaikan citra internasional daripada transformasi fundamental dalam relasi gender. Berdasarkan teori Mohanty, penelitian ini mengidentifikasi tiga temuan utama: (1) pentingnya memahami ketidaksetaraan gender dalam konteks sosio-historis spesifik, (2) pengakuan perempuan Saudi sebagai agen aktif yang menegosiasikan hak mereka melalui berbagai bentuk resistensi, dan (3) pemahaman terhadap interseksi antara kebijakan gender, ekonomi global, dan geopolitik. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih nuansa tentang kompleksitas perjuangan kesetaraan gender dalam konteks non-Barat.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> Feminisme Postkolonial, Wahabisme, Visi Saudi 2030</p>Bangkit Adi SaputraIta Rodiah
Copyright (c) 2025 Bangkit Adi Saputra, Ita Rodiah
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-05-052025-05-05218811110.70742/arlash.v2i1.199Mental Instability in the Household: Schizophrenia as a Reason for Dissolution of Marriage in Syariah Court
https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arlash/article/view/189
<p>Schizophrenia is a mental disorder. If it becomes chronic, it can be used as a reason for fasakh (marriage dissolution) claims based on Section 53(1)(h)(i) of the Perak Islamic Family Enactment 2004. Fasakh claims can be filed for two main reasons: physical neglect and mental neglect. One of the mental disorder grounds for fasakh is schizophrenia. Therefore, this study explores whether schizophrenia can be a valid reason for fasakh in court. The study aims to analyze schizophrenia as a legal basis for fasakh claims in the Syariah Court. A qualitative descriptive approach was used, with data collected through literature review and semi-structured interviews with two expert informants. Thematic analysis was applied to examine the data. The findings show that schizophrenia significantly affects marriage, leading to behavioral changes, inability to fulfill responsibilities, and emotional disturbances. Therefore, schizophrenia can be considered a valid reason for fasakh in the Syariah Court. However, strong evidence, such as medical reports, witness statements, and police reports (if abuse is involved), is required for proof. This study suggests further research on the impact of schizophrenia on marriage and the role of social support and psychiatric treatment in reducing its negative effects on families.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Skizofrenia adalah gangguan mental, jika gangguan ini kronik maka ia boleh dijadikan sebagai alasan untuk tuntutan fasakh berdasarkan Seksyen 53(1)(h)(i) Enakmen Keluarga Islam Perak 2004. Tuntutan fasakh boleh difailkan atas dua alasan utama iaitu pengabaian fizikal dan pengabaian mental. Terdapat pelbagai alasan untuk fasakh bagi gangguan mental, salah satunya ialah skizofrenia. Justeru, persoalan yang timbul adalah sama ada penyakit skizofrenia boleh dijadikan sebagai alasan untuk tuntutan fasakh di mahkamah. Sehubungan itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk menganalisis penyakit skizofrenia sebagai suatu alasan yang sah untuk menuntut fasakh di Mahkamah Syariah. Bagi mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan kualitatif deskriptif digunakan dalam kajian ini di mana data diperoleh melalui kajian kepustakaan dan temu bual separa berstruktur bersama dua informan pakar. Seterusnya, data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil kajian mendapati bahawa skizofrenia memberi kesan mendalam terhadap perkahwinan termasuk perubahan tingkah laku, ketidakmampuan menjalankan tanggungjawab dan gangguan emosi. Oleh itu, skizofrenia boleh dijadikan sebagai alasan yang sah untuk tuntutan fasakh di Mahkamah Syariah. Walau bagimanapun, proses pembuktian perlu dilaksanakan dengan mengemukakan bukti yang kukuh seperti laporan perubatan, keterangan saksi dan laporan polis sekiranya terdapat unsur penganiayaan. Kajian ini mencadangkan agar penyelidikan lanjutan dapat meneliti impak skizofrenia terhadap hubungan perkahwinan dan peranan sokongan sosial serta rawatan psikiatri dalam mengurangkan kesan negatif terhadap keluarga.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong> Delusi, Emotional exhaustion; Enakmen Keluarga Islam, Fasakh; Skizofrenia.</p>Aufa Ashirah MohamadZul-kifli HussinNorlailatul Akmal Che Soh
Copyright (c) 2025 Aufa Ashirah Mohamad, Zul-kifli Hussin, Norlailatul Akmal Che Soh
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-05-092025-05-092111212810.70742/arlash.v2i1.189